Senin, 15 November 2010

Belajar Banyak Dari Starbucks


Saya bukan penggemar kopi, tapi sekarang saya sering menghabiskan weekend berdua suami dengan nongkrong di Starbucks Plasa Senayan dari lepas makan siang hingga magrib.
Berbekal laptop masing-masing, kami bisa tenggelam dalam dunia kami selama berjam-jam tanpa rasa bosan. Saya ngeblog atau pun menulis artikel sambil mendengarkan musik, suami baca buku sambil sesekali mengutak-atik demo musik di laptopnya. Di meja kami, tentu saja, ada kopi Starbucks.
Sebelumnya, saya menempatkan Starbucks hanya sebagai tempat ngobrol, bertemu teman atau bertemu klien, tapi sekarang Starbucks juga menjadi tempat yang nyaman untuk menyalurkan hobi saya.
Berawal dan pengalaman, kini saya ketagihan.

Bukan oleh kopinya. Yes, The coffee is good but I am not really into coffee…
Tapi oleh keseluruhan feel yang ada di sana. Sofanya, musiknya, ambiancenya, crowd-nya yang enak dilihat mata dan lain-lain.
Retail is detail.
Mulai dari logo hingga kemasan produk, dari lokasi hingga desain ruangan, dari annual report sampai katalog, dari kemudahan pembelian sampai layanan yang ramah. Retail bukan hanya mengandalkan kualitas produk atau harga murah,tapi semua elemen memiliki fungsi yang penting untuk membentuk jiwa sebuah brand.
Dalam menangani isue negatif pun, Starbucks juga tampil dengan personality yang bijak. Saat kejadian pemboman 11 September 2002, Starbucks diguncang berita tak sedap. Dikabarkan, manager Starbucks di area pemboman dengan semena-mena menaikan harga hingga sekian kali lipat. Akibatnya, sempat sebagian warga mengajak melakukan gerakan boikot terhadap brand ini.

Sambil meminta maaf atas kejadian yang tidak menyenangkan itu, Starbucks mencoba menjelaskan dengan cara yang simpatik bahwa keputusan itu diambil dalam kondisi yang panik dimana dalam kondisi chaos seperti itu, semua orang pasti sulit untuk berpikir jernih.

Tidak ada pemecatan, tidak ada teguran keras kepada pegawai yang kemudian dipublikasikan ke publik seperti yang sering dilakukan perusahaan ketika diprotes konsumen.

Publik berempati, kehormatan pegawai tetap terjaga. Sales tetap melaju, rasa cinta pegawai terhadap perusahaan semakin besar.
****
Belum banyak pemilik produk di Indonesia yang sadar dengan manfaat of being detail. Selama ini kita masih sering berada di level ingin dikenal (dibeli jika ada), belum ingin dicintai (dicari jika tak ada, tak ingin memakai yang lain jika bukan brand x).
Atau, memiliki keinginan untuk dicintai tapi tindakan yang dilakukan masih sebatas tebar pesona, kosmetis, dan mengabaikan hal-hal detail lain karena dianggap kurang penting. Menghabiskan energi untuk beriklan kesana kemari tapi sangat tidak perhatian pada kualitas customer service, product quality control, record data konsumen, kenyamanan konsumen dan lain-lain. Padahal, hal-hal detil itulah yang membuat seseorang jatuh cinta.
Starbucks dengan segala kedetailannya berhasil membuat produk menjadi brand, turning something ordinary to extraordinary.

Mengutip istilah bapak mertua saya, ini bukan lagi bicara tentang marketing communication, tapi business communication.

Sumber : Virtual Consulting-oleh : Iim Fahima Jachja
Foto : onlinebuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar